Tantangan Pemerintah RI dengan Disahkan UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

Picture 01 web

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan disahkan Pemerintah pada tanggal 16 November 2012 dan mulai diundangkan tanggal 17 November 2012.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan maka Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pertimbangan dalam penyusunan Undang-undang ini adalah bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Terkait dengan hal tersebut, negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.

Sebagaimana diketahui, Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, memiliki sumber daya alam dan sumber Pangan yang beragam, harus mampu memenuhi kebutuhan Pangannya secara berdaulat dan mandiri.

Namun di balik pengesahan UU Pangan ini, Pemerintah Indonesia mempunyai PR besar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri yang notabene sebagai ruh dari ketahanan pangan itu sendiri. Oleh karena itu, kita perlu melihat bagaimanakah sebenarnya perkembangan kondisi pangan di Indonesia?

PERKEMBANGAN KONDISI PANGAN DI INDONESIA

Selama 10 tahun terakhir Indonesia terus-menerus mengimpor bahan pangan.

Bangsa Indonesia terancam masalah pangan yang sangat serius jika negara ini terus-menerus menggantungkan pemenuhan kebutuhan pokok dari impor. Kondisi tersebut ironis karena pada 1985 negara agraris ini telah berswasembada beras.

Di antara negara ASEAN, indeks ketahanan pangan global Indonesia pun menempati posisi kelima dari tujuh negara yang dievaluasi. Data tersebut dikeluarkan Economis Intelligence Unit (EUI) dalam Dupont Media Forum di Singapura.

Bahkan, menurut laporan wartawan Media Indonesia Windy Dyah Indriantari dari Singapura, kemarin, posisi ketahanan pangan Indonesia berada di bawah Filipina, pesaing dalam kelompok negara pengimpor beras terbesar di dunia.

Di lain hal, Malaysia menduduki peringkat teratas dengan predikat baik, yakni 63,9. Disusul Thailand di posisi kedua dengan predikat yang sama berindeks 57,9.

Regional Director EIU kawasan Timur Tengah dan Afrika Pratibha Thaker mengatakan ada tiga indikator dalam penilaian indeks. Ketiganya ialah keterjangkauan, ketersediaan, dan nilai atau kualitas nutrisi.

“Indeks ketahanan pangan ini melibatkan 105 negara. Indeks terbaik ialah 100, tetapi belum ada negara yang mampu mencapai angka itu. Bahkan Amerika Serikat sekalipun,” ujar Thaker.

Harus surplus 5%
Saat menanggapi hasil evaluasi EUI itu, pengamat pertanian Khudori mengaku tidak kaget. Menurutnya, hal itu disebabkan kebijakan pemerintah yang tidak fokus dan konsisten dalam sektor pertanian.

Khudori berpendapat bahwa saat ini Indonesia bahkan sudah mengalami krisis pangan. Indikasinya, menurutnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir Indonesia terus mengimpor pangan.

“Dari sisi nilai dan volume impor naik terus. Memang neraca perdagangan pertanian surplus, tapi di perkebunan yang paling besar, sedangkan pangan defisit,” ungkapnya.

Data BPS pada Januari-Juni 2011 saja menyebutkan bahwa impor pangan Indonesia mencapai 11,33 juta ton dengan nilai US$5,36 miliar atau senilai Rp45 triliun.

Krisis pangan itu juga disampaikan Koordinator Nasional untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko dalam diskusi di gedung parlemen, Jakarta, kemarin. “Indonesia saat ini sudah masuk krisis pangan, tetapi kadarnya belum parah,” katanya.

Menurut Tejo, impor itu sudah terjadi di hampir semua komoditas pertanian seperti beras, jagung, kedelai, gandum, dan gula. Bahkan gandum, 100% diimpor di antaranya dari Turki, Australia, dan AS.

Hal yang sama disampaikan ekonom pertanian dari Institute for Development Economic and Finance (Indef) Bustanul Arifin. “Kalau produksi tidak digenjot dan petani diabaikan, itu akan menjadi krisis pangan,” ujarnya. Untuk memenuhi pangan di negeri ini, produksi pertanian minimal harus surplus 5%.

Dalam acara di Kementerian Keuangan, Jakarta, kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan reformasi agraria harus disukseskan agar Indonesia bisa memproduksi pangan lagi. Menurut Presiden, pemerintah memiliki anggaran untuk meningkatkan swasembada pangan, di antaranya target surplus 10 juta ton beras pada 2014.

Dengan demikian, jelaslah pengesahan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan merupakan suatu tantangan besar bagi Pemerintah RI menilik kondisi kedaulatan pangan Indonesia yang memprihatinkan.

REFERENSI

Sumber 1

Sumber 2

Tinggalkan komentar